Buruknya polusi di Jakarta ternyata bukan bualan. Data-data dari berbagai sumber menunjukkan udara Jakarta semakin beracun. Di sisi lain, masyarakat Jakarta terus menjadi korban.
Kirana harus menanggung musibah pada akhir Mei lalu. Dua anaknya yang baru berusia 11 dan 5 tahun mengalami infeksi saluran pernapasan. Mulanya anaknya mengalami batuk kering dan pilek, kemudian disusul dengan demam hingga 39 derajat Celsius. Saat malam hari, napas anaknya juga cenderung berat.
Menurut perempuan berusia 35 tahun tersebut, anaknya akhirnya harus dibawa ke rumah sakit. Selama di sana, ia juga menyaksikan pasien anak-anak lain yang mengalami kondisi serupa.
“Anak saya vaksinnya sudah lengkap, kok. Alhamdulillah juga tidak ada yang merokok (di rumah),” ucap perempuan yang tinggal di daerah Jakarta Timur tersebut kepada reporter detikX. Dia tak ingin nama aslinya dipublikasikan.
Dokter, kata Kirana, mengatakan saluran pernapasan anaknya terpapar oleh debu dan asap. Polutan yang terhirup ke dalam tubuh menyebabkan luka-luka kecil yang menjadikan anaknya mudah terpapar oleh virus. Kirana menuturkan anaknya sebelumnya kerap bermain di luar rumah saat sore hari. Ia dan keluarga juga menyenangi kegiatan luar ruangan, seperti mengunjungi taman-taman di pusat kota. Salah satu taman yang ia dan keluarga kunjungi adalah Taman Suropati di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Menurutnya, kualitas udara yang buruk menjadi salah satu faktor utama menurunnya kekebalan tubuh anaknya. Untuk itu, ia kini membatasi kegiatan luar ruangan. Terlebih kondisi kualitas udara di sekitar kediamannya yang terpantau tidak baik.
Sama dengan Kirana, Putri—bukan nama sebenarnya—mengalami pengalaman serupa. Tidak ada perokok di rumah Putri. Tapi buah hatinya divonis menderita bronkopneumonia sejak usia 5 tahun. Mulanya si anak mengalami batuk berkepanjangan, disusul dengan demam dan napas yang berat.
Menurut dokter, sepenuturan ulang Putri, salah satu penyebab utama bronkopneumonia adalah kualitas udara yang buruk. Walaupun bisa pulih, penderitanya mudah kambuh saat terpapar udara yang tercemar.
“Teman-teman dia di sekolah itu kayak gantian kena bronkopneumonia. Kata dokternya, itu faktor utama itu karena udara,” ujar Putri kepada reporter detikX.
Polusi udara yang terjadi di Jabodetabek terbukti berdampak buruk, terutama bagi kelompok rentanm seperti anak-anak. Putri berharap pemerintah segera bekerja serius untuk mengurangi polusi udara. Pemerintah juga diminta tegas menegakkan aturan yang selama ini sudah ada terkait pembakaran sampah, terutama di dekat permukiman atau fasilitas umum.
Menurut laporan Nafas Indonesia, aplikasi monitoring kualitas udara Indonesia, pada Mei 2023, terjadi peningkatan polusi udara dibandingkan sebelumnya. Jakarta Timur menjadi salah satu lokasi dengan tingkat polusi udara terburuk. Bahkan tercatat 15 persen lebih buruk dibandingkan dengan DKI Jakarta secara keseluruhan. Kondisi itu dilihat berdasarkan tingkat polusi PM2.5 di lokasi tersebut, yang mencapai 65 µm/m3. PM2.5 merupakan partikel padat polusi udara yang berukuran kurang dari 2.5 mikrogram atau 36 kali lebih kecil dari diameter sebutir pasir.
Selain Jakarta Timur, pada Mei, ada enam wilayah di DKI Jakarta dengan tingkat cemaran PM2.5 tinggi pada jam-jam tertentu. Daerah tersebut meliputi Hang Tuah, Kebayoran Lama Utara, Kemang Selatan, Pattimura, Gelora, dan Gondangdia. Pada jam-jam tertentu, jumlah PM 2.5 bahkan mencapai 725 mikrogram per meter kubik.
Uniknya, selama empat kali penyelenggaraan car free day (CFD) pada Mei, tiga hari di antaranya dilaksanakan di tengah kondisi polusi udara yang berstatus tidak sehat, baik untuk kelompok rentan maupun secara umum. Bahkan CFD 18 Juni lalu diselenggarakan dengan kondisi udara Jakarta yang berstatus sangat tidak sehat atau 30 kali di atas panduan paparan tahunan PM2.5.
Berdasarkan pantauan detikX, per 21 Juni 2023, Jakarta sempat menempati peringkat pertama sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Indeks kualitas udara Jakarta sempat menyentuh angka 165 atau kategori tidak sehat (warna merah) dengan tingkat PM2.5 sebesar 82,4 mikrogram per meter kubik.
Adapun ambang batas aman yang diperbolehkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait jumlah cemaran PM2.5 adalah 5 mikrogram per meter kubik. Adapun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), standar maksimal PM2.5 di Indonesia adalah 15,5. Adapun PM10 (ukuran partikelnya lebih besar) adalah 50 mikrogram per meter kubik. Di angka itu, masuk dalam kategori ISPU 1-50 atau warna hijau, yang artinya tingkat mutu udara dianggap sangat baik.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan paparan polusi udara yang melebihi ambang batas terbukti berdampak buruk bagi kesehatan. Dampak jangka pendek dapat muncul dalam beberapa hari hingga minggu. Adapun dampak jangka panjang dapat terjadi jika seseorang terpapar oleh polusi udara selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Artinya, mereka yang terpapar polusi setiap hari dapat berisiko tinggi terkena dampak jangka panjang.
Menurut guru besar bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut, dampak jangka pendek biasanya berhubungan dengan iritasi, mulai iritasi kulit, mata, hingga saluran napas. Namun sebagian besar iritasi itu akan menimbulkan gejala berupa keluhan pernapasan. Infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA dapat muncul karena iritasi yang memudahkan bakteri maupun virus menjangkiti manusia. Untuk pasien anak, dampaknya dapat lebih parah, seperti radang paru-paru atau pneumonia.
“Disebabkan iritasi mukosa epitel, irritant pada saluran pernapasan. Keluhannya apa? Mulai hidung gatal, berair, tenggorokan gatal, tenggorokan terasa nyeri, berdahak, batuk. Napas sering sesak, napas bunyi, begitu pula (mengakibatkan) penyakit paru kronis dan masuk IGD,” terang Agus kepada reporter detikX.
Agus menjelaskan penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya korelasi langsung antara perburukan kualitas udara dan peningkatan pasien asma yang masuk ke IGD. Seperti riset yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Rumah Sakit Persahabatan pada 2019. Begitupun saat polutan PM2.5 maupun PM10 meningkat di Jakarta, jumlah pasien penyakit paru kronis juga meningkat. Tidak hanya itu, pada kondisi yang sama, konsultasi melalui telemedecine terkait ISPA dan asma naik 100-200 persen.
Namun, menurut Agus, ada dampak jangka panjang yang tak kalah mengerikan bila kita terpapar polusi setiap hari, yaitu penurunan fungsi paru. Penurunan fungsi paru secara normal adalah 28 mililiter per tahun. Jika terpapar polutan, bisa mencapai 50-60 militer per tahun.
Agus menuturkan remaja penderita asma di Jakarta juga lebih banyak, yakni sekitar 12,7 persen, dan hanya 7 persen di daerah pedesaan yang minim polutan. Selain itu, paparan polutan selama bertahun-tahun juga meningkatkan ancaman terkena kanker dan jantung koroner. Hal itu dapat terjadi karena polutan banyak mengandung zat pemicu kanker, bahkan saat PM2.5 masuk ke peredaran darah dan mengakibatkan peradangan sistemik.
“Jadi termasuk pemerintah, yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi. Jadi regulasi apa? Misalnya menentukan ambang batas yang lebih sehat,” tuturnya.
Penegasan serupa diungkapkan Plt Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati. Menurutnya, tingginya polusi udara Jakarta akhir-akhir ini juga berdampak pada kesehatan masyarakat.
“Jadi memang ada pengaruhnya peningkatan beberapa kasus (penyakit) yang berhubungan terutama dengan saluran pernapasan, apalagi dengan kualitas udara buruk seperti itu,” kata Ani kepada reporter detikX.
Ani menegaskan ada peningkatan jumlah pasien penyakit pernapasan yang mungkin dipicu oleh kualitas udara di beberapa wilayah DKI Jakarta. Dari Januari hingga April 2023, daerah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat menjadi yang paling banyak terdapat pasien penyakit pernapasan. Adapun untuk tingkat kecamatan, terdapat Cilincing dan Menteng. Dinas Kesehatan mengaku selalu melakukan monitoring terhadap tren penyakit-penyakit tertentu yang diakibatkan oleh gangguan pernapasan.
Menurut data sebaran incidence rate (IR) penyakit gangguan saluran napas per 1.000 penduduk di DKI Jakarta, tertinggi adalah Kepulauan Seribu (20,39), Jakarta Pusat (16,36), dan Jakarta Utara (15,14). Skala IR 13,07 hingga 16,36 tergolong tinggi. Namun, jika dilihat per kecamatan, Cilincing dan Menteng memiliki sebaran kasus tertinggi dengan status label warna biru pekat (paling tinggi 16,37-20,36). Adapun di Jakarta Timur terdapat Kecamatan Pulogadung dan Pasar Rebo yang tergolong tinggi.
Dinkes DKI Jakarta menjelaskan mayoritas pasien penyakit pernapasan adalah mereka yang berada pada usia 50-60 tahun. Kemudian, kelompok kedua terbanyak adalah kelompok balita. Kedua kelompok itu cukup rentan karena tingkat ketahanan tubuhnya lebih rendah daripada kelompok umur lainnya. Dinkes mengimbau agar kelompok umur yang rentan meminimalkan kegiatan di luar ruangan.
“Memang dilihat kondisi udara juga ada indikasi polusi yang cukup tinggi. Kita sudah berikan promosi dan edukasi kepada masyarakat untuk meminimalkan akibatnya,” ucapnya.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Erni Pelita Fitratunnisa menjelaskan pihaknya sedang menyiapkan rencana aksi pengendalian pencemaran udara. Aksi itu diklaim sebagai bagian dari grand design DKI terkait kualitas udara. Harapannya, dalam 1-2 hari ke depan, regulasi tersebut segera ditandatangani oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.
Menurut perempuan yang akrab dipanggil Fitri ini, ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi kualitas udara Jakarta. Faktor alam, seperti arah angin, kecepatan angin, dan curah hujan, juga dianggap memiliki pengaruh terhadap kualitas udara. Selain itu, faktor penggunaan kendaraan dan kegiatan industri memiliki pengaruh besar. Untuk membantu melakukan pengawasan, ia menjelaskan, saat ini DKI Jakarta memiliki stasiun pemantau kualitas udara: 5 pemantau tetap dan 3 alat pemantau bergerak.
Untuk itu, Fitri mengatakan kondisi kualitas udara di Jakarta sangat dinamis. Saat ditanya daerah mana yang paling sering dan konsisten mengalami polusi yang parah, Fitri tidak dapat menunjukkan data yang dimaksud.
“Fluktuatif sih, Mas. Fluktuatif kondisinya,” ujar Fitri kepada reporter detikX.
Menurut studi inventarisasi emisi pada 2020, DLH DKI mengatakan mayoritas polusi berasal dari kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Ada tujuh parameter emisi yang mempengaruhi polusi Jakarta. Ketujuh emisi yang dimaksud adalah S02 (total mencapai 4.256 ton, 61,9 persen dihasilkan oleh kegiatan industri), NOx (106.068 ton, 72,4 persen dihasilkan oleh kendaraan bermotor), CO (298.171 ton, 96,36 persen dihasilkan kendaraan bermotor), PM10 (8.817 ton, 57,99 persen dihasilkan dari kendaraan bermotor). Kemudian PM2.5 (7.842 ton, 67,04 persen oleh kendaraan dihasilkan bermotor), BC (6.006 ton, 84,48 persen dihasilkan oleh kendaraan bermotor), dan NMVOV (201.871 ton, 98,5 persen dihasilkan oleh kendaraan bermotor).
Tingginya kadar emisi membuat DKI Jakarta harus segera berbenah. Fitri mengatakan pihaknya sudah menetapkan target penurunan emisi pada 2030. Target Penurunan Beban Emisi 2030 untuk PM10 turun 56 persen, PM2.5 sebanyak 41 persen, BC 41 persen, NOx 34 persen, SO2 16 persen, dan CO 40 persen.
Ahli lingkungan Universitas Indonesia, Dwi Martono, membenarkan mayoritas polusi udara di DKI Jakarta disebabkan oleh kendaraan bermotor. Polusi yang terjadi, menurutnya, telah ada sejak 1980-an dan terus makin parah hingga saat ini. Polusi yang terjadi berkepanjangan akan mengakibatkan degradasi lingkungan dan kejadian yang lebih serius, seperti hujan asam.
Dwi memaparkan solusi lingkungan tidak boleh hanya mengandalkan kebijakan sederhana, seperti pembatasan kendaraan ganjil-genap. Menurutnya, dibutuhkan solusi menyeluruh dan sinergi antarpemerintah di berbagai wilayah. Hal itu karena sifat polusi udara yang tidak terbatas pada satu lokasi saja dan dapat berpindah.
“Sekarang itu, kalau kita bicara masalah pencemaran udara, masyarakat yang paling memberikan kontribusi itu menengah ke atas, Mas. Orang-orang biasa ya cuma di rumah atau paling nongkrong, ya, pakai motor sebentar, selesai, itu,” ujar Dwi kepada reporter detikX.
Di sisi lain, terkait wacana pembatasan penjualan dan produksi kendaraan bermotor sebagai solusi perbaikan lingkungan, Dwi secara pribadi setuju. Namun ia memberi catatan bahwa hal tersebut harus dibicarakan dan ditimbang berdasarkan aspek ekonomi dan sosialnya.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gofar mengatakan polusi Jakarta juga disebabkan oleh semakin banyaknya kawasan industri di sekitar Jabodetabek. Salah satunya penambahan PLTU di unit 9-10 di Banten. Selain itu, peningkatan jumlah kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua.
Menurut Walhi, selain solusi jangka pendek, pemerintah mestinya memikirkan kebijakan yang lebih besar, seperti pembatasan penjualan kendaraan bermotor. Namun, seiring dengan itu, pemerintah juga harus menghentikan pertumbuhan jalan tol dalam kota. Upaya itu dapat diperkuat dengan menambah jalur dan moda transportasi massal publik yang ramah lingkungan sebagai gantinya.
“PR-nya kan untuk last mile, beberapa kawasan permukiman dan lain sebagainya kan masih belum terjangkau kendaraan-kendaraan penghubung sebelum ke stasiun-stasiun maupun halte,” ujar Gofar kepada reporter detikX.
Sumber: DetikX